Mungkin tidak ada hubungannya antara narkoba dan politik. Meskipun begitu, dua kejadian yang menarik perhatian di awal tahun ini adalah soal narkoba dan politik. Fenomena di dunia politik dan narkoba konon sudah amat dekat dan menyatu. Dari dulu.
Kata pak ustad, narkoba bisa ditemukan tidak hanya di panti-panti rehabilitasi yang mengobati para pecandu zat adiktif itu. Zat-zat adiktif ternyata tidak hanya narkoba, tapi juga popularitas, pengakuan, jabatan, kenyamanan dan juga status - baik status di dunia politik, pendidikan, di tengah masyarakat bahkan di dunia agama. Dan yang mengejutkan, petuah-petuah dan nasihat-nasihat juga menjadi barang klangenan yang adiktif. Tak heran banyaknya acara-acara meningkatkan motivasi baik dalam bisnis, karier, agama, pendidikan dll justru menunjukan banyaknya orang yang butuh dimotivasi. Motivasi tidak lagi bisa muncul dari kesadaran dan pemahaman diri tapi harus diangkat-angkat dengan suplemen-suplemen eksternal.
Sistem politik, asas politik, partai politik, dogma partai, pengurus partai bahkan slogan partai pun tak luput dijadikan narkoba-narkoba baru. Ada harapan yang terselubung dari kita, bahwa semua itu menjajikan harapan baru yang lebih baik. Apa yang tidak menarik dari pemimpin yang mengayomi, merakyat, blusukan tiap hari ke kampung-kampung, makan dengan menu yang sama dengan tukang becak, makan di warteg yang sama dengan para kuli? Apa yang tidak menarik dari politikus yang fasih mengutip pendapat Ibn Khaldun, Abu Yusuf, Al Maududi, atau Sayid Khutb sekaligus fasih juga mengutip kata-kata Abraham Lincoln, Socrates, Plato, Keynes, JJ Rousue, Lord Acton atau tokoh politik dunia lainnya? Apa yang tidak bisa dibanggakan dari panutan politik seorang lulusan pondok sekaligus S2 luar negeri yang fasih bahasa Arab dan Inggris? Siapa yang tidak percaya diri satu kubu dengan politikus muda yang cerdas, kritis dan terjaga reputasinya dari era orba hingga era reformasi saat ini? Tidak ada. Namun, semua itu potensial jadi narkoba yaitu menjadikan semua itu lebih dari sekadar sarana. Menempatkan semua itu di meja pemujaan dan membiarkan asap dupanya menghalangi pandangan mata.
Sebagaimana Isya putra Maryam - Rasululloh SAW pun potensial dijadikan “narkoba” oleh umatnya. Syukurlah, Rasululloh melarang kita menggambar wajah beliau, sehingga satu jalan untuk menjadikan beliau “narkoba” tertutup.
Sebagaimana remaja, mungkin masyarakat kita tengah jatuh cinta pada politik. Mulai dari pemilihan presiden hingga lurah, eforia politik membuat kita bisa jatuh cinta dadakan pada tokoh-tokoh politik. Kita bisa tiba-tiba begitu akrab dan gembira dengan berada di dekat tuan X atau tuan Y. Padahal mereka bukan orang tua kita. Darah daging kita pun bukan dari hasil banting tulang mereka atau dari air susu mereka. Lalu, kalau ditanya mengapa anda memilih si A bukan si B, jawabannya sebagaimana lagu Ussy, “Sudah klik”. Lalu kalau dikejar lagi dengan pertanyaan yang kritis dan rasional, mungkin mereka akan menjawab dengan lagunya Agnes Monica, “cinta ini / kadang-kadang tak ada logika”.
Lalu, sambil nyruput capucino, ku klik dua kali “winamp” dan kupencet “L” di area playlist. Lalu di jendela “Add file(s) top playlist”, klik “Agnes Monica – Tak Ada Logika”.
Beberapa detik kemudian terdengarlah
Cinta ini
Kadang-kadang tak ada logika
Berisi semua hasrat dalam hati
…
9 February 2003
No comments:
Post a Comment